Analisis Gender dalam Mendorong Gerakan Transformasi Sosial

Juli 06, 2017

Melawan ketidakadilan sosial dalam kehidupan kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dalam setiap kajian. Perlawanan ketidakadilan sosial yang selalu dilakukan manusia sepanjang sejarah, hingga kini telah melahirkan sebuah teori dan paradigma yang telah terkonstruksi secara mengakar. Salah satu perlawanan itu adalah mengenai ketidakadilan gender dalam sistem kemasyarakatan manusia. Muncullah pada saat itu sebutan untuk makhluk laki-laki dan perempuan.

Salah satu hal terpenting yang perlu dimengerti dalam memahami perempuan adalah harus mampu membedakan konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Karena hal ini sangat diperlukan dalam memahami ketidakadilan sosial yang telah berdedar di masyarakat luas. Konsep seks yaitu membicarakan persoalan jenis kelamin secara biologis dan kodrati yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis itu sudah jelas terlihat, diantaranya: seorang perempuan secara biologis ia memiliki rahim, ovum, vagina, menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan seorang laki-laki secara biologis ia memiliki penis, sperma, dan jakala (kala menjing). Itulah konsep seks yang harus dipahami setiap masyarakat, karena sangat jelas berbeda antara seks dan gender. Sedangkan konsep gender juga tidak kalah penting harus dipahami setiap orang, karena ini merupakan pijakan utama dalam mendorong terbangunan transformasi sosial secara fundamental. Gender adalah pembedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.[1] Misalnya konsep gender yang sudah melekat dan terkonstruk di masyarakat adalah pandangan mengenai perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dipandang memiliki sifat rasional, jantan, perkasa, dan kuat. Padahal ciri-ciri dari sifat itu bisa dipertukarkan, hal ini berbeda dengan konsep seks yang memang sudah tidak bisa dipertukarkan secara kodrat.

Perbedaan gender dalam sejarah manusia antara laki-laki dan perempuan dapat terjadi melalui proses yang panjang. Berbagai hal tersebut dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.[2] Karena melalui perjalanan panjang tersebut maka masyarakat secara langsung terpengaruh pandangannya, dan seolah-olah konsep perbedaan gender tersebut menjadi ketentuan Tuhan. Padahal, tidak demikian, dari sinilah perbedaan gender mulai memunculkan permasalahan ketidakadilan dalam kehidupan sosial. Ketidakadilan gender ini muncul karena adanya sistem yang mengakibatkan salah satu jenis kelamin terabaikan hak-hak dasarnya, tertinggal hingga menjadikan permasalahan ketidakadilan. Manifestasi dari ketidakadilan gender ini ada berbagai macam yakni: marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting dalam pengambilan keputusan politik), sterotipe (pelabelan negatif), kekerasan, dan beban ganda.

Lantas bagaimana untuk memperjuangkan ketidakadilan gender tersebut agar tidak menjadi permsalahan dari salah satu jenis kelamin? Salah satu solusi yang ditawarkan adalah Women In Development (WID-Perempuan dalam pembangunan). Gagasan ini dianggap satu-satunya jalan untuk memperbaiki status dan nasib berjuta-juta perempuan di dunia. Dengan konsep pelibatan perempuan dalam proses pembangunan dianggap ketidakadilan gender dapat teratasi. Padahal sebenarnya WID merupakan startegi utama developmentalism (pembangunan) yang secara tidak langsung lebih menghasilkan penjinakan dan pengekangan perempuan ketimbang membebaskannya. Dan sebenarnya kebijakan develompentalism ini merupakan suatu kebijakan yang memiliki dampak negatif terhadap kehidupan sosial manusia, karena developmentalism awalnya diciptakan dalam rangka membendung banjir semangat anti kapitalisme dari berjuta-juta rakyat di dunia. Selain itu develompentalism merupakan sistem yang bergerak pada bidang ekonomi, otoriter, eksploitatif dan memiliki sifat kultiral yang dominan.

Berdasarkan kondisi tersebut untuk melawan ketidakadilan gender tidak dapat dilakukan jika melalui program women in development (WID), karena justru program tersebut yang akan melanggengkan penindasan terhadap perempuan. Dengan demikian yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah apakah ketidakadilan gender dapat dilawan melalui gerakan feminisme yang sudah ada sejak awal tahun 60-an. Pada awalnya orang-orang berprasangkan gerakan feminisme merupakan gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang telah disebut kodrat. Dengan pemahaman yang kurang tepat demikian sering menimbulkan permasalahan bahawa gerakan feminisme secara umum ditolak masyarakat. Sehingga perlu dibahas secara mendalam mengenai akar dari gerakan feminisme. Berdasarkan teori gerakan feminisme terbagi menjadi 5, yaitu: feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme sosialis, dan ekofeminisme. Dari masing-masing gerakan feminisme yang muncul terjadi perbedaan ideologi, namun pada dasarnya perjuangan mereka sepaham dalam hakikatnya demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan, baik di dalam ataupun diluar rumah.

Gerakan feminisme berangkatnya berawal dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Pada dasarnya feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki saja, karena mereka juga sadar bahwa kaum laki-laki (terutama proletar) juga eksploitasi yang diakibatkan oleh dominasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Sehingga membicarakan gerakan feminisme adalah mengenai penegakan keadilan untuk kaum perempuan dan laki-laki.

Memperjuangkan ketidakadilan gender merupakan tugas berat setiap individu, karena masalah gender adalah hal yang intens dimana masing-masing akan terlibat secara emosional. Dengan demikian ketika kita berbicara masalah perjuangan melawan ketidakadilan gender maka harus dilakukan secara bersama-sama, tidak dapat dipetak-petakkan dengan meyakini gerakan masing-masing. Upaya yang dapat dilakukan terbagi dengan upaya jangka pendek dan jangka panjang. Dalam upaya jangka panjang setidaknya dapat dilakukan aksi serampak yang dilakukan oleh perempuan, untuk memassifkan gerakan mendorong keadilana gender. Dengan demikian perempuan juga mampu mebatasi masalahnya sendiri, dan mampu melakukan perlawanan terhadap kekerasan yang sebagian besar korbannya adalah perempuan, selain itu penyusunan startegi advokasi terhadap permasalahan perenpuan juga perlu untuk dikonsolidasikan bersama. Sedangkan upaya jangka panjang yang dapat dilakukan bersama-sama dalam melawan ketidakadilan gender diantaranya ialah meningkatkan kesadaran kritis serta melakukan kampanye dan pendidikan kepada masyarakat secara umum untuk menghentikan ketidadilan gender. Serta perlu ditekankan bahwa gerakan transformasi gender lebih merupakan gerakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem yang tidak adil. Dengan demikian gerakan transformasi gender sebagai jalan menuju transformasi sosial yang lebih luas harus merupakan proses penghapusan terhadap ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi.


[1] Mufidah.2009.Pengarusutamaan Gender pada Basis Keagmaan.Malang:UIN Malang Press.(hal 5)
[2] Fakih,Mansour.2008.Analisis Gender & Transformasi Sosial.Yogyakarta:Insist Press. (hal. 10)

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Total Tayangan Halaman

Member Of