BPJS Melemah, Korupsi dan Fraud Dana Kapitasi JKN Besar
Januari 27, 2019![]() |
source: liputan6.com |
Program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan amanat UU No 40 tahun 2004 tentang
sistem jaminanan sosial nasional. Jaminan ini diselenggarakan dengan tujuan
memberikan jaminanan kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia (universal coverage), program JKN dimulai
sejak tahun 2014 . Dalam memaksimalkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
ini dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penjalan
regulator. Hingga saat ini pelaksanaan program JKN telah masuk tahun kelima,
namun permasalahan tentang jaminan kesehatan ini semakin rumit.
Tahun
semakin bertambah dan keberadaan BPJS terus mengalami defisit keuangan.
Beberapa faktor penyebab defisit nya BPJS diungkapkan, antara lain: penunggakan
pembayaran iuran kepesertaan, klaim rumah sakit yang melampaui INACBGs, dan
faktor lainnya. Solusi dari pemerintahpun telah diberikan untuk menutup defisit
yang dialami oleh BPJS melalui PMK No 222 tahun 2017 tentang Pegunaan,
Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Tembakau yang menerapkan 50% dari dana
DBH CHT (Cukai rokok) dialokasikan untuk menutup kekurangan dana tersebut.
Dalam
mendukung pelayanan kesehatan di era Program JKN ini, BPJS Kesehatan harus
memberikan aliran dana kapitasi kepada setiap Fasilitas Kesehatan
(Faskes). Dana kapitasi JKN adalah
besaran biaya yang dibayarkan dimuka kepada setiap FKTP (Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama) yang diberkan setiap bulan. Besaran dana kapitasi telah diatur
didalam Permenkes No 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN.
Kegunaan dana kapitasi tersebut diantaranya:
1. Pembelian dan belanja Obat, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
2. Kegiatan operasional pelayanan
kesehatan, yang meliputi: kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.
3. Kunjungan rumah dalam rangka upaya
kesehatan perorangan.
4. Pembiayaan operasional puskesmas
keliling
5. Administrasi keuangan dan sistem informasi
Perhitungan
penerimaan dana kapitasi yang diterima puskesmas setiap bulan didasarkan pada
Permenkes No 12 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Permenkes No 59 Tahun 2014.
Standar tarif dana kapitasi yang diberikan kepada setiap FKTP memiliki besaran
yang berbeda, diantaranya: puskesmas atau fasilitas yang setara akan
mendapatkan Rp 3.000 setiap peserta yang terdaftar di FKTP tersebut dalam satu
bulan; Rumah sakit kelas D pratama atau klinik yang setara sebesar Rp 8.000 –
Rp 10.000 setiap peserta dalam 1 bulan. Dan pemberian dana kapitasi kepada FKTP
tersebut tidak melihat klaim penyakit dari peserta BPJS, namun selalu diberikan
oleh BPJS kesehatan melalui rekening JKN yang dimiliki setiap FKTP dengan rutin
per bulannya. Hal inilah yang memiliki potensi adanya dugaan korupsi dana
kapitasi JKN oleh stakeholder terkait.
Fenomena
tentang dugaan korupsi dana kapitasi ini telah terjadi di daerah, sejak tahun
2014. Menurut penelitian yang dilakukan oleh ICW dari tahun 2014-2017 tercatat
ada sekitar 12 isu pemotongan, penyimpangan, dan penyelewengan dana kapitasi 12
daerah. Bermacam modus digunakan untuk menyelewengkan dana kapitasi JKN di
beberapa FKTP, dan kerugian negara akibat dugaan korupsi serta penyelewengan dana
kapitasi ini mencapai 5,8 M. Berikut modus penyelewengan dana kapitasi yang
dilakukan oleh stakeholder terkait (Kepala Daerah, Dinas Kesehatan, Kepala
Daerah, dan Bendahara):
Pemborosan Belanja Obat
Kebutuhan
belanja obat di Indonesia cukup tinggi, dan mencapai 40% dari total keseluruhan
belanja kesehatan. Kebijakan dalam melakukan belanja obat sebenarnya telah
diberlakukan melalui e-catalog, sehingga setiap FKTP yang melakukan belanja
obat langsung melalui e-catalog tersebut. Namun dengan kondisi e-catalog yang
belum tersedia dengan baik, menyebabkan
belanja obat yang dilakukan tidak maksimal. Selain itu beberapa Dinas Kesehatan
(Dinkes) dan fasilitas kesehatan (Faskes) tidak memberikan Rencana Kebutuhan
Obat kepada Kemenkes. Sehingga e-catalog yang disediakan oleh LKPP hanya dapat
dimanfaatkan sebesar 30-40%, hal ini terjadi karena terdapat obat yang tidak
tersedia didalam e-catalog. Sehingga Dinkes atau Faskes melakukan belanja di
toko lain, dan hal ini memiliki potensi terjadinya pemborosan dalam belanja
obat.
Belanja Fiktif
Operasional Puskesmas
Dana
kapitasi dapat digunakan untuk belanja operasional puskesmas, dalam hal belanja
medis ataupun non medis. Modus yang digunakan biasanya belanja dilakukan kepada
toko dimana bukti pertenggungjawabannya dimanipulasi meskipun harganya tidak
ada. Atau barang yang dijual lebih tinggi dari harga pasar, hal ini dapat
terjadi karena adanya persekongkolan antara kepala puskesma, bendahara, dan
pemilik toko yang memberikan kwitansi.
Pengalokasian Anggaran
Ganda
Penganggaran
ganda dilakukan untuk mebiayai satu jenis kegiatan dengan sumber dana ganda,
yaitu dana kapitasi operasional dan Bantuan Operasional kesehatan. Sumber dana
tersebut berbeda, namun digunakan untuk membiayai kegiatan yang sama. Seperti
halnya dana kapitasi yang dapat digunakan membiayai kegiatan promotif,
preventif, dan rehabilitatif. Sedangkan melalui Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) juga dapat membiayai kegiatan tersebut. Sehingga beberapa faskes
melakukan pengganggaran ganda untuk mendapatkan keuntungan dari penggunaan dana
tersebut.
Selain
itu, dugaan korupsi dana kapitasi juga dilakukan di Jombang dengan melibatkan
kepala daerah, Plt. Dinas Kesehatan, dan puskesmas. Modus yang dilakukan ialah
dengan memotong dana kapitasi yang telah masuk ke rekening JKN dan kemudian
dikumpulkan untuk disetorkan ke Dinas Kesehatan serta Kepala Daerah. Aliran
dana kapitasi JKN yang dilakukan setiap bulan tersebut ternyata menjadikan para
stakeholder tersebut mudah melakukan korupsi. Dari berbagai modus korupsi dan
kecurangan atas penggunaan dana kapitasi JKN tersebut, dapat dilakukan tindakan
bersama antara lain:
a. Transparansi dokumen rencana belanja
kesehatan yang dilakukan setiap puskesmas kepada publik, yang dapat dilakukan
oleh Kemenkes. Karena keberadaan puskesmas merupakan badan publik.
b. Aparat Pemeriksa Internal Pemerintah
(APIP) sebagai pengawas di internal juga dapat fokus melakukan pengawasan yang
substansif dalam penggunaan dana kapitasi JKN tersebut.
c. Pemerintah dapat membangun sistem
perlindungan saksi untuk melaporkan temuan tentang dugaan korupsi dan fraud
dalam penggunaan dana kapitasi.
Penulis:
Intan Dita Wira Dwi Wahyuni (Badan Pekerja Malang Corruption Watch)
0 komentar