Paradigma Lama dan Baru Mengenai Perpustakaan Indonesia
Januari 27, 2019
Mengulas tentang paradigma atau
sudut pandang masyarakat luas mengenai perpustakaan, tentu memiliki banyak substansi.
Khususnya masyarakat Indonesia yang masih berpandangan sederhana mengenai
keberadaan perpustakaan. Perpustakaan memiliki berbagai definisi, dilihat dari
segi lokasinya perpustakaan ialah ruangan/gedung; sedangkan menurut substansi
khalayak ialah koleksi pustaka, dan menurut UU No. 43 Tahun 2007 tentang
perpustakaan, merupakan lembaga/institusi. Salah satu fungsi perpustakaan
adalah mengkomunikasikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
pemakai perpustakaan. Namun, kebanyakan orang memandang perpustakaan hanyalah
tempat mencari referensi, ruangan yang berisi banyak tumpukan buku dan dengan
pustakawan yang sangat tidak menarik. Hal itu merupakan salah satu paradigma perpustakaan dan
pustakawan itu sendiri dalam pandangan yang masih tradisional. Jika pandangan
demikian tetap bertahan hingga zaman modern seperti ini tentu saja eksistensi
perpustakaan lambat laun akan menghilang di Indonesia.
Indonesia punya lebih dari 200.000
sekolah mulai dari SD hingga SMA, dan lebih dari 3.000 perguruan tinggi. Tentunya
di setiap tempat tersebut sangat membutuhkan keberadaan perpustakaan. Hal ini cukup membanggakan, karena sumber
pengetahuan yang pasti itu berada di perpustakaan. Memang informasi di zaman
yang serba canggih ini dapat di akses melalui media apa saja. Tetapi, keakuratan
informasi tersebut masih belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan. Seluruh
paradigma masyarakat yang berargumen perpustakaan itu hanyalah tempat yang
tidak menarik untuk di kunjungi dapat di rubah melalui berbagi cara.
Selaras dengan menciptakan citra
peran perpustakaan mendorong masyarakat masyarakat untuk belajar, maka perlu
ditekankan pentingnya sumber daya manusia perpustakaan untuk menguasai bahasa
asing, dan akrab dengan teknologi, utamanya teknologi informasi. Banyak pakar
ilmu perpustakaan sepakat bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan,
faktor yang di tekankan hanyalah unsur keramahan pustakawannya. Karena jika
pelayanan yang dierikan oleh pustakawan baik dan cukup menarik, maka
pengunjunga akan merasa nyaman dan senang. Soelistyo Basuki misalnya,
menyatakan bahwa perpustakaan yang baik harus dapat menciptakan sistem
pelayanan yang cepat, familiar atau friendly dan manusiawi. Strategi lain yang
yang dapat digunakan untuk menggapai perpustakaan yang maju adalah memadukan
dan memanfaatkan multimedia di era kompetisi global saat ini. Perpustakaan yang
baik tidaklah cukup hanya bertugas untuk mengumpulkan informasi, menyediakan
kartu katalog untuk memudahkan penelusuran, cara pelayanan yang menarik dan
memiliki karyawan yang selalu berkeinginan membantu. Tetapi juga bagaimana
upaya untuk mengemas perpustakaan itu lebih modern dan berbasis teknologi
informasi. Dengan demikian pengguna perpustakaan lebih merasa nyaman dan
kebutuhan akan informasi dapat terpenuhi dengan baik. Jika hal tersebut dapat
di terapkan dengan baik tentu paradigma tradisional masyarakat yang berpadangan
bahwa perpustakaan hanyalah tempat yang tidak lebih dari tempat menyimpan buku
dapat berubah. Faktanya juga sudah dapat dilihat bahwa perkembangan
perpustakaan di Indonesia sudah lebih modern. Karena dibeberapa sekolah
menengah atas sudah mulai menggunakan katalog yang berbasis teknologi
informasi. Selain itu juga perpustakaan sekarang juga sudah mulai dikemas
dengan berbagai cara yang menambah kenyamanan pengunjung, contohnya ialah
dengan ditambahnya area café baca atau taman di dalam perpustakaan dan
sekirtarnya.
Sering ada pertanyaan yang
menyangkut eksistensi perpustakaan di abad ke-20 ini. Apakah perpustakaan akan
hilang? Ataukah perpustakaan beralih menjadi perpustakaan digital? Tentu saja
jawabannya perpustakaan tidak akan hilang. Jika perpustakaan hilang maka
peradaban dan pengetahuan suatu bangsa juga akan terancam hilang. Karena salah
satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa ialah dengan melihat budaya membacanya.
Di beberapa Negara sudah mulai diterapkan membaca, dalam pandangan Taufiq
Ismail saat acara Malam Pujangga 2014 di Universitas Negeri Malang, siswa
sekolah di Indonesia tidak satu pun dibekali dengan kewajiban untuk mebaca
karya sastra. Berbeda dengan siswa di Amerika Serikat yang harus membaca 32
judul karya sastra selama siswa duduk di bangku SMA. “Malaysia dan Brunei
saja mewajibkan siswanya membaca 6 karya sastra kepada siswa selama dia duduk
di bangku sekolah, sedangkan di Indonesia tidak ada alias 0,” ungkap Taufiq
Ismail. Jika hal seperti ini tetap di terapkan di Indonesia maka peranan
perpustakaan sebagai jantung pengetahuan juga akan nihil. Lalu bagaiman dengan
pertanyaan akankah ada perpustakaan digital? Bisa saja hal tersebut terjadi,
karena tuntutan zaman yang terus mendorong adanya revolusi setiap tahun dan hal
itu juga sangat penting untuk perpustakaan di Indonesia.
Kesimpulannya ialah paradigma
masyarakat mengenai perpustakaan bisa berbah dengan seiring berkembangnya waktu
dan juga pengemasan perpustakaan yang lebih canggih juga modern. Sistem
jasa/pelayanan perpustakaan di Indonesia harus juga dikembangkan, selaras
dengan usaha pemberdayaan sumber daya manusia sebagai salah satu aset suatu
bangsa di masa depan. Sebagai salah satu unsur penggerak dan pembangunan
bangsa, perpustakaan dan jaringan informasi dan dokumentasi di Indonesia tidak
telepas dari 5 isu global, yaitu: demokrasi, HAM, transparansi, liberalisasi,
konservasi alam dan lingkungan hidup.
Sumber:
Agus, Sutoyo.2006.Strategi dan Pemikiran Perpustakaan Visi
Henandono.Jakarta:Sagung Seto.
http://jurusanku.com/PUSTAKAWAN-BUKAN-PENJAGA-BUKU/
diakses tanggal 08 September 2014
0 komentar